Keutamaan Puasa
Kaum
muslimin yang semoga yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, bulan ramadan adalah
bulan yang penuh dengan barakah, bulan dimana segala kebaikan yang banyak
terdapat di sana, berikut ini kami akan memaparkan beberapa keutamaan bagi
seorang muslim yang berpuasa pada bulan tersebut.
Banyak
sekali ayat-ayat yang tegas dan jelas dalam Al-Qur’an yang memberikan anjuran
untuk melaksanakan puasa sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
juga Allah ta’ala telah menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman-Nya:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ
وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ
وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ
وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ
وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ
اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)
Puasa
Merupakan Perisai Bagi Seorang Muslim
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
يا معشر الشباب من اسطاع منكم الباءة
فاليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“Wahai
sekalian para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu untuk menikah
maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat lebih menundukkan pandangan,
dan lebih menjaga kehormatan. Barang siapa yang belum mampu menikah maka
hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah penjaga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka pada
hadits ini Rasulullah memerintahkan bagi orang yang telah kuat syahwatnya akan
tetapi belum mampu untuk menikah maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat
menjadi pemutus syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga
badan bisa terkontrol menenangkan seluruh anggota badan serta seluruh kekuatan
(yang jelek) bisa di tahan hingga dapat melakukan ketaatan dan di belenggu dengan
kendali puasa.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا
باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا
“Tidaklah
seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia
(karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud sabda
Rasulullah “70 musim” adalah perjalanan 70 tahun, sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/48)
Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا
باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا
“Barang
siapa berpuasa satu hari di jalan Allah maka Allah akan menjadikan di antara
neraka dan dirinya parit yang jaraknya sejauh bumi dan langit.”
Maka
hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan berpuasa yang
dilakukan karena ikhlas mengharapkan wajah Allah ta’ala sesuai dengan petunjuk
yang telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Puasa
Bisa Memasukkan Seorang Hamba ke Dalam Surga
Puasa dapat
menjauhkan seorang hamba dari neraka, yang berarti mendekatkannya menuju surga.
Seorang
sahabat berkata kepada Rasulullah:
يا رسول الله دلني على عمل أدخل به
الجنة
“Wahai
Rasulullah tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke dalam
surga.”
Rasulullah
bersabda:
عليك باصوم لا مثل له
“Hendaklah
engkau melaksanakan puasa karena tidak ada yang semisal dengannya.” (HR. Nasaai, Ibnu Hibban dan Al
Hakim)
Pahala
Orang yang Berpuasa Tidak Terbatas, Bau Mulutnya Lebih Wangi Daripada Wangi
Kesturi dan Ia Memiliki Dua Kebahagiaan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا
الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا
كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ
أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ
الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا
لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.
“Semua
amalan bani adam adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan
Aku yang akan membalasnya, dan puasa adalah perisai, jika salah seorang dari
kalian berpuasa maka janganlah ia berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ada
orang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi maka hendaklah ia mengatakan,
‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada di
tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi
Allah daripada bau misk. Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, ia
bergembira ketika berbuka, dan ia bergembira ketika bertemu dengan rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam
riwayat Bukhari disebutkan:
يترك طعامه وشرابه وشهوته من أجلي.
الصيام لي وأنا أجزي به والحسنة بعشر أمثالها
“Ia
meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan aku yang
akan membalasnya, dan kebaikan itu akan digandakan sepuluh kali lipatnya.”
Dalam
riwayat muslim disebutkan:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ
الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ
وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ
وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ
مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Semua
amalan bani adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan akan dibalas dengan
sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipatnya, Allah ta’ala berfirman, ‘Kecuali
puasa sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan aku yang akan membalasnya, ia
meninggalkan syahwat dan makannya karena aku, maka Aku yang akan membalasnya.’
Dan bagi orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika
berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya. Benar-benar mulut orang
yang berpuasa di sisi Allah lebih harum daripada harumnya misk.”
Puasa
dan Al-Qur’an Akan Memberi Syafaat Kepada Ahlinya Pada Hari Kiamat
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ
لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ
الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ
مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan
Al-Qur’an akan memberikan syafaat pada hari kiamat. Puasa mengatakan ‘Wahai
Rabbku, aku menghalanginya dari makan dan syahwat pada siang hari maka berilah
ia syafaat karenaku.’ Al-Qur’an pun berkata, ‘Aku menghalanginya dari tidur
pada malam hari maka berilah ia syafaat karenanya.” Rasulullah mengatakan,
“Maka keduanya akan memberikan syafaat.” (HR. Ahmad, Hakim)
Puasa
Sebagai Kaffarat (Penebus Dosa yang Pernah Dilakukan)
Di antara keutamaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain
adalah Allah menjadikannya sebagai kaffarat bagi orang yang memotong rambut
kepalanya (ketika haji) karena ada uzur sakit atau penyakit di kepalanya, puasa
juga dapat menjadi kaffarat bagi orang yang tidak mampu memberi kurban,
kaffarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena tidak sengaja,
juga sebagai kaffarat bagi orang yang membatalkan sumpah atau yang membunuh
binatang buruan di tanah haram dan sebagai kaffarat zhihar (mentalak istri).
Allah ta’ala
berfirman:
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ
لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ
رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً
أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ
نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي
الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن
لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa
atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),
(wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi
orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram
(orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ
مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ
كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak
layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah, dan adalah Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa: 92)
لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ
فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ
أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا
أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari, yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar), dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maa-idah: 89)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ
ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ
عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu
sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu
yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi
makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan
itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan
apa yang telah lalu. Dan Barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya
Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk)
menyiksa.” (QS.
Al-Maa-idah: 95)
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ
نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣)فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Orang-orang
yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan
(budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi
Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang
sangat pedih.” (QS.
Al-Mujadilah: 3-4)
Demikian
juga puasa dan shadaqah bisa menghapuskan musibah seseorang dari harta,
keluarga dan anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فتنة الرجل في أهله وماله وجاره
تكفرها الصلاة والصيام والصدقة.
“Fitnah
(musibah) seorang pria dalam keluarga (istrinya), harta dan tetangganya dapat
dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah.”
Orang
yang Berpuasa Akan Mendapatkan Ar-Rayyan
إن في الجنة بابا يقال له الريان،
يدخل منه الصائمون يوم القيامة. لا يدخل منه أحد غيرهم فإذا دخلوا أغلق فلم يدخل
منه أحد [فإذا دخل آخرهم أغلق ومن دخل شرب ومن شرب لم يظمأ أبدا].
“Sesungguhnya
dalam surga ada satu pintu yang di sebut dengan Ar-Rayyan. Orang-orang yang
berpuasa akan memasuki pintu tersebut pada hari kiamat, tidak ada selain mereka
yang akan memasukinya. Jika orang terakhir yang berpuasa telah masuk ke dalam
pintu tersebut maka pintu tersebut akan tertutup. Barang siapa yang masuk, maka
ia akan minum dan barang siapa yang minum maka ia tidak akan haus untuk
selamanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim), tambahan lafaz yang ada dalam kurung merupakan riwayat
Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. (1903)
Disarikan
dari Shifatu Shaumin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Ramadhan
Penulis: Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
Hikmah di Balik Puasa Ramadhan
Segala puji
bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Berikut
adalah beberapa hikmah di balik puasa Ramadhan yang kami sarikan dari beberapa
kalam ulama. Semoga bermanfaat.
1.
Menggapai Derajat Takwa
Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Ayat
ini menunjukkan bahwa di antara hikmah puasa adalah agar seorang hamba dapat
menggapai derajat takwa dan puasa adalah sebab meraih derajat yang mulia ini.
Hal ini dikarenakan dalam puasa, seseorang akan melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi setiap larangan-Nya. Inilah pengertian takwa. Bentuk takwa dalam puasa
dapat kita lihat dalam berbagai hal berikut.
Pertama,
orang yang berpuasa akan meninggalkan setiap yang Allah larang ketika itu yaitu
dia meninggalkan makan, minum, berjima’ dengan istri dan sebagainya yang
sebenarnya hati sangat condong dan ingin melakukannya. Ini semua dilakukan
dalam rangka taqorrub atau mendekatkan diri pada Allah dan meraih pahala
dari-Nya. Inilah bentuk takwa.
Kedua, orang
yang berpuasa sebenarnya mampu untuk melakukan kesenangan-kesenangan duniawi
yang ada. Namun dia mengetahui bahwa Allah selalu mengawasi diri-Nya. Ini juga
salah bentuk takwa yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah.
Ketiga,
ketika berpuasa, setiap orang akan semangat melakukan amalan-amalan ketaatan.
Dan ketaatan merupakan jalan untuk menggapai takwa.[1] Inilah sebagian di antara bentuk
takwa dalam amalan puasa.
2.
Hikmah di Balik Meninggalkan Syahwat dan Kesenangan Dunia
Di dalam
berpuasa, setiap muslim diperintahkan untuk meninggalkan berbagai syahwat,
makanan dan minuman. Itu semua dilakukan karena Allah. Dalam hadits qudsi[2], Allah Ta’ala berfirman,
يَدَعُ
شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
“Dia
telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku”.[3]
Di antara hikmah meninggalkan syahwat dan kesenangan
dunia ketika berpuasa adalah:
Pertama,
dapat mengendalikan jiwa. Rasa kenyang karena banyak makan dan minum, kepuasan
ketika berhubungan dengan istri, itu semua biasanya akan membuat
seseorang lupa diri, kufur terhadap nikmat, dan menjadi lalai. Sehingga dengan
berpuasa, jiwa pun akan lebih dikendalikan.
Kedua, hati
akan menjadi sibuk memikirkan hal-hal baik dan sibuk mengingat Allah. Apabila
seseorang terlalu tersibukkan dengan kesenangan duniawi dan terbuai dengan
makanan yang dia lahap, hati pun akan menjadi lalai dari memikirkan hal-hal
yang baik dan lalai dari mengingat Allah. Oleh karena itu, apabila hati tidak
tersibukkan dengan kesenangan duniawi, juga tidak disibukkan dengan makan dan
minum ketika berpuasa, hati pun akan bercahaya, akan semakin lembut, hati pun
tidak mengeras dan akan semakin mudah untuk tafakkur (merenung) serta berdzikir
pada Allah.
Ketiga,
dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi, orang yang berkecukupan
akan semakin tahu bahwa dirinya telah diberikan nikmat begitu banyak dibanding
orang-orang fakir, miskin dan yatim piatu yang sering merasakan rasa lapar.
Dalam rangka mensyukuri nikmat ini, orang-orang kaya pun gemar berbagi
dengan mereka yang tidak mampu.
Keempat,
dengan berpuasa akan mempersempit jalannya darah. Sedangkan setan berada pada
jalan darahnya manusia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya
setan mengalir dalam diri manusia pada tempat mengalirnya darah.”[4] Jadi puasa dapat menenangkan setan
yang seringkali memberikan was-was. Puasa pun dapat menekan syahwat dan rasa
marah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan
puasa sebagai salah satu obat mujarab bagi orang yang memiliki keinginan untuk
menikah namun belum kesampaian.[5]
3. Mulai Beranjak
Menjadi Lebih Baik
Di bulan
Ramadhan tentu saja setiap muslim harus menjauhi berbagai macam maksiat agar
puasanya tidak sia-sia, juga agar tidak mendapatkan lapar dan dahaga saja. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ
صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa
banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut
kecuali rasa lapar dan dahaga saja.”[6]
Puasa
menjadi sia-sia seperti ini disebabkan bulan Ramadhan masih diisi pula dengan
berbagai maksiat. Padahal dalam berpuasa seharusnya setiap orang berusaha
menjaga lisannya dari rasani orang lain (baca: ghibah), dari berbagai
perkaataan maksiat, dari perkataan dusta, perbuatan maksiat dan hal-hal yang
sia-sia.
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ
يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak
butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”[7]
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ
الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي
صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa
bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan
menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang
mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku
sedang puasa”.”[8] Lagwu adalah perkataan sia-sia dan
semisalnya yang tidak berfaedah.[9] Sedangkan rofats adalah istilah
untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita[10] atau dapat pula bermakna kata-kata
kotor.[11]
Oleh karena
itu, ketika keluar bulan Ramadhan seharusnya setiap insan menjadi lebih baik
dibanding dengan bulan sebelumnya karena dia sudah ditempa di madrasah Ramadhan
untuk meninggalkan berbagai macam maksiat. Orang yang dulu malas-malasan shalat
5 waktu seharusnya menjadi sadar dan rutin mengerjakannya di luar bulan
Ramadhan. Juga dalam masalah shalat Jama’ah bagi kaum pria, hendaklah pula
dapat dirutinkan dilakukan di masjid sebagaimana rajin dilakukan ketika bulan
Ramadhan. Begitu pula dalam bulan Ramadhan banyak wanita muslimah yang berusaha
menggunakan jilbab yang menutup diri dengan sempurna, maka di luar bulan
Ramadhan seharusnya hal ini tetap dijaga.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ
أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“(Ketahuilah
bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg)
walaupun sedikit.”[12]
Ibadah dan
amalan ketaatan bukanlah ibarat bunga yang mekar pada waktu tertentu saja.
Jadi, ibadah shalat 5 waktu, shalat jama’ah, shalat malam, gemar bersedekah dan
berbusana muslimah, bukanlah jadi ibadah musiman. Namun sudah seharusnya di
luar bulan Ramadhan juga tetap dijaga. Para ulama seringkali mengatakan,
“Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, -pen) hanya pada
bulan Ramadhan saja.”
Ingatlah
pula pesan dari Ka’ab, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan lantas terbetik
dalam hatinya bahwa setelah lepas dari Ramadhan akan berbuat maksiat pada
Rabbnya, maka sungguh puasanya itu tertolak (tidak bernilai apa-apa).”[13]
4.
Kesempatan untuk Saling Berkasih Sayang dengan Si Miskin dan Merasakan
Penderitaan Mereka
Puasa akan
menyebabkan seseorang lebih menyayangi si miskin. Karena orang yang berpuasa
pasti merasakan penderitaan lapar dalam sebagian waktunya. Keadaan ini pun ia
rasakan begitu lama. Akhirnya ia pun bersikap lemah lembut terhadap sesama dan
berbuat baik kepada mereka. Dengan sebab inilah ia mendapatkan balasan melimpah
dari sisi Allah.
Begitu pula
dengan puasa seseorang akan merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang
miskin, fakir, yang penuh kekurangan. Orang yang berpuasa akan merasakan lapar
dan dahaga sebagaimana yang dirasakan oleh mereka-mereka tadi. Inilah yang
menyebabkan derajatnya meningkat di sisi Allah.[14]
Inilah
beberapa hikmah syar’i yang luar biasa di balik puasa Ramadhan. Oleh karena
itu, para salaf sangatlah merindukan bertemu dengan bulan Ramadhan agar
memperoleh hikmah-hikmah yang ada di dalamnya. Sebagian ulama mengatakan, “Para
salaf biasa berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar dapat berjumpa dengan bulan
Ramadhan. Dan 6 bulan sisanya mereka berdoa agar amalan-amalan mereka diterima”.[15]
Hikmah
Puasa yang Keliru
Adapun
hikmah puasa yang biasa sering dibicarakan sebagian kalangan bahwa puasa dapat
menyehatkan badan (seperti dapat menurunkan bobot tubuh, mengurangi resiko
stroke, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi resiko diabetes[16]), maka itu semua adalah hikmah
ikutan saja[17] dan bukan hikmah utama. Sehingga
hendaklah seseorang meniatkan puasanya untuk mendapatkan hikmah syar’i terlebih
dahulu dan janganlah dia berpuasa hanya untuk mengharapkan nikmat sehat semata.
Karena jika niat puasanya hanya untuk mencapai kenikmatan dan kemaslahatan
duniawi, maka pahala melimpah di sisi Allah akan sirna walaupun dia akan
mendapatkan nikmat dunia atau nikmat sehat yang dia cari-cari.
Allah Ta’ala
berfirman,
مَنْ كَانَ
يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ
الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu ‘Abbas
mengatakan, “Orang yang gemar berbuat riya’ akan diberi balasan kebaikan mereka
di dunia. Mereka sama sekali tidak akan dizholimi. Namun ingatlah, barangsiapa
yang melakukan amalan puasa, amalan shalat atau amalan shalat malam namun hanya
ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan
baginya dunia yang dia cari-cari. Akan tetapi, amalannya akan lenyap di akhirat
nanti karena mereka hanya ingin mencari keuntungan dunia. Di akhirat, mereka
juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.”[18]
Sehingga
yang benar, puasa harus dilakukan dengan niat ikhlas untuk mengharap wajah
Allah. Sedangkan nikmat kesehatan, itu hanyalah hikmah ikutan saja dari
melakukan puasa, dan bukan tujuan utama yang dicari-cari. Jika seseorang
berniat ikhlas dalam puasanya, niscaya nikmat dunia akan datang dengan
sendirinya tanpa dia cari-cari. Ingatlah selalu nasehat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَتِ
الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ
وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ
اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ
مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa
yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan
kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai,
dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya
adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah
merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh
kecuali yang telah ditetapkan baginya.”[19]
Adapun
hadits yang mengatakan,
صُوْمُوْا
تَصِحُّوْا
“Berpuasalah,
niscaya kalian akan sehat.” Perlu diketahui bahwa hadits semacam ini adalah
hadits yang lemah (hadits dho’if) menurut ulama pakar hadits.[20]
Semoga kita
bisa menarik hikmah berharga di balik puasa kita di bulan penuh kebaikan, bulan
Ramadhan.
Hikmah dan Keutamaan dalam Berpuasa
Posted by
Admin
pada 20/08/2009
1. Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum
Ash-Shaum merupakan salah satu ibadah dalam Islam yang
memiliki keutamaan yang sangat tinggi, serta memiliki berbagai faidah dan
hikmah sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam
tafsirnya tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
)يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ( البقرة: ١٨٣
”Wahai orang-orang yang beriman, telah
diwajibkan atas kalian ash-shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” [Al-Baqarah : 183]
Diantaranya :
1. Ash-shaum adalah salah satu sebab terbesar yang
mengantarkan seseorang menuju taqwa. [1]) Sedangkan taqwa itu akan mendorong
orang yang menjalankan ibadah shaum untuk meninggalkan berbagai larangan Allah
Ta’ala, baik berupa minuman, makanan, dan jima’ (hubungan suami-istri) dan
beberapa larangan sejenisnya yang disukai oleh hawa nafsu, dan shaum dilakukan
dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan mengharapkan
balasan di sisi-Nya.
2. Orang yang menjalankan ibadah shaum melatih jiwanya
agar senantiasa merasa diawasi oleh Allah (muroqobatullah) sehingga dia
meninggalkan kemauan hawa nafsunya meskipun mampu menurutinya, sebab dia
mengetahui adanya pengawasan Allah Ta’ala terhadap dirinya.
3. Ash-shaum dapat mempersempit ruang gerak syaithan
karena ia masuk ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah. ([2])
4. Ash-shaum akan melemahkan kekuatan syaithan, sehingga
orang tersebut semakin terjauhkan dari kemaksiatan.
5. Orang yang menunaikan ash-shaum, mayoritasnya akan
melakukan banyak ketaatan dan itu merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah
Ta’ala
6. Terkhusus bagi orang kaya bila merasakan pedihnya
lapar karena ash-shaum maka akan muncul dalam dirinya kepedulian kepada
fuqara`, dan hal ini juga merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.
([3])
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ketika ditanya tentang hikmah
ash-shaum, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab antara lain : bahwa
ash-shaum mememiliki beberapa hikmah dalam hal sosial kemasyarakatan, antara
lain munculnya perasaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa mereka adalah umat
yang satu, makan dan bershaum di waktu yang sama. [4])
Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam ([5])
menyebutkan hikmah lain dari ibadah ash-shaum, di antaranya :
1. Mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah dan
mengingat berbagai nikmat-Nya.
2. Memiliki manfaat kesehatan, yaitu memberikan
kesempatan pada alat pencernaan untuk istirahat.
———————————–
[1] Oleh karena
itu, kalau kita perhatikan dengan seksama ayat pertama yang padanya Allah
memerintahkan kaum mu`minin untuk bershaum diakhiri dengan penyebutan tujuan
tersebut, yaitu ayat ke-183 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ “Agar kalian bertaqwa”
Begitu pula
Allah mengakhiri ayat terakhir tentang perintah ash-shaum ini dengan penyebutan
tujuan tersebut pula, yaitu ayat ke-187 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
لَعَلَّهُمْ تَتَّقُونَ “Agar mereka bertaqwa”
[2] Dari
Shafiyyah radiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ
الإِنْسَانِ مَجْرى الدَّم
“Sesungguhnya Syaithan berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan
aliran darahnya.” [HR. Al-Bukhari 2035, 2038, 2039, 3101, 3281,
6219, 7171; Muslim 2175]
[3] Tafsir
As-Sa’di tafsir Al-Baqarah ayat 183..
[4] Lihat
Fatawa Ash-Shiyam karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin hal. 24. lihat pula
Fatawal-’Ulama`il-BaladilHaram hal. 277.
[5]
Taudhihul Ahkam (3/123)
2. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
Sementara Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak
disebutkan dalam berbagai hadits, baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun
fadhilah shaum Ramadhan secara khusus. Dalam kesempatan ini kami akan
menyebutkan beberapa di antaranya :
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ
يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ
إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ – وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ
الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا [متفق عليه]
“Ash-Shiyam
adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak
berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka
katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” – dua kali – Dan demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum
daripada bau misk di sisi Allah, ‘ Dia meninggalkan makanan, minuman, dan
syahwatnya karena Aku. Dan Aku sendiri yang akan membalas amalan baiknya
(ash-shaum) dan ketahuilah bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya
sampai sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])
Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat
kita petik :
a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Imam An-Nasa`i dari shahabat ‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa
Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka). Lafazh hadits tersebut
adalah :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ
دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ :
إِنِّي صَائِمٌ؛ فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ
النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ ))
Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin
Abil ‘Ash, kemudian beliau hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata
: “Sesungguhnya aku sedang
bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh aku telah
mendengar Rasulullah [D] bersabda :
“Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api
neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ
يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ [رواه أحمد]
“Sesungguhnya
shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari
(adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik
di sisi Allah dibandingkan aroma wangi misk. [5])
c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka
pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri.
[lihat ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]
2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu
pintu Ar-Rayyan.
Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu,
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا
يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ
يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟
فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ
فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
“Sesungguhnya
di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan yang masuk melaluinya pada
Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk
seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang
yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang
akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk semua,
maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.”
[Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ دَخَلَ فِيهِ
شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه النسائي و أحمد]
“Barangsiapa
yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum maka
pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad]
([7])
3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70)
tahun.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ
يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ
سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا [متفق عليه]
“Tidaklah
seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan
wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat, sejauh 70 tahun.”
[Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian ‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan
jihad, antara lain Al-Imam Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan
hadits ini dalam Kitabul Jihad was Sair dengan judul bab : فَضْلِ
الصَّوْمِ فِي سَبِيْلِ اللهِ (Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah).
Begitu pula Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini
dengan judul : فَضْلِ
الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا ضَرَرٍ وَلا تَفْوِيتِ حَقٍّ (Keutamaan
Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan
pengabaian tugas).
Sehingga atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam
hadits di atas hanya khusus bagi yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.
Namun Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi
Sabilillah di sini adalah : ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna
hadits adalah : “Barangsiapa yang bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”.
Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika
berjihad fi sabilillah.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua
kemungkinan makna di atas memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas,
sekaligus sebagai makna hadits berikut ini. [9])
4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.
Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu
‘anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ
يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا
كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه الترمذي]
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jadikan antara
dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang lebarnya) sejauh langit dan
bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])
5. Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan
seratus tahun
Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَومًا
فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ مِائَةِ عَامٍ ))
[رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني]
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api
Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu
Abi ‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah : Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “sejauh
perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir
perbedaan ini memunculkan suatu pertanyaan.
Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :
a. Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai
batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak
tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan
dipertegas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
– Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة
التكثيركثيرا
“Penyebutan
bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa
sangat jauhnya.”
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :
ويؤيده أن النسائي أخرج
الحديث المذكور عن عقبة بن عامر والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن
أنس فقالوا جميعا في رواياتهم ( مائة عام ).
“Memperkuat
pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut dari
shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari
shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin
Anas, semuanya menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“.
[12])
Jawaban senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam
Syarh Sunan An-Nasa`i, bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun
bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat
jauhnya jarak tersebut. [13])
b. Ada kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak
menambah fadhilah dan pahala bagi orang yang bershaum sehingga menyempurnakan
jauhnya jarak tersebut menjadi seratus tahun perjalanan setelah sebelumnya
sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini disampaikan oleh Al-Imam As-Sindi
rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [14])
Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang
sering diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut
:
– Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ
يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، بَعَّدَهُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَابٍ
طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ حَتَّى مَاتَ هَرِمًا )) [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و
الطبراني]
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah Allah, niscaya Allah
jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang burung Gagak,
semenjak burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia yang tua.
” [Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])
– Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( مَنْ صَامَ
يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ مِائَةَ عَامٍ،
رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ المُضَمَّرِ )) [رواه عبد الرزاق و الطبراني]
“Barangsiapa
yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api
Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun, dengan kecepatan kuda tunggangan
gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])
—————————
[1]
Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang
jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari
Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2]
Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3]
An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
An-Nasa`i no. 2231.
[4] HR.
Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut
Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul Jami’ish Shaghir no. 4308.
[5] Hal ini
tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau
mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak,
sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar
yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil
I/106 . Lihat pembahasan lengkap pada bab halaman ………………..
[6]
Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7]
An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam
Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8]
Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9] Lihat
Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[10]
At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 563.
[11]
An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2, Ath-Thabarani
dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam
Ash-Shahihah no. 2565.
[12] Fathul
Bari syarh hadits no. 2840.
[13] Lihat
Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.
[14] Ibid.
[15] Ahmad
II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang perawi yang
lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang perawi yang majhulul hal
sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan; Al-Hafizh juga berkata tentangnya :
mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits
ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.
[16] Tentang
makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2870,
6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.
[17]
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul
Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata
tentang hadits ini : “Munkar dengan konteks secara lengkap seperti di atas.
Karena pada sanadnya terdapat kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang
semuanya dha’if (lemah), yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan
Al-Mutharrih.”
Dalam kitabnya
Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal :
dha’if (lemah).
Kemudian
tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun Yukhthi’ (jujur namun
berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun
tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).
Oleh karena
itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id melemahkan hadits di
atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid ini. beliau berkata : “Hadits
ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, namun dalam sanadnya
terdapat Mutharrih, dia adalah seorang perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah
no. 6910).
3. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
6. Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan
oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي
أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ الصِّيامُ وَ
الصَّدَقَةُ (متفق عليه)
“Dosa
yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga, harta, atau
tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.”
[Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
7. Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِلصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ
رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [متفق عليه]
“Bagi
orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika berbuka dia bergembira
dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya (Allah) dia bergembira dengan
(pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim]
([2])
8. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ اسْتَطَاعَ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )) [متفق
عليه]
“Barangsiapa
yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah, karena sesungguhnya
pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun
barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya
shaum tersebut berfungsi sebagai perisai baginya. [Muttafaqun
‘alaihi] ([3])
Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di
antara hikma ash-shaum berfungsi sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan
syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu jalan keluar bagi para pemuda yang
belum mampu melakukan pernikahan.
9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( الصِّيَامُ و
القُرآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي
رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي
فِيهِ؛ يَقُولُ القُرْآنُ: رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي
فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ ))
“Ash-Shiyam
dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari
Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb, sesungguhnya aku telah menghalanginya
dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.”
Al-Qur`an berkata : Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada
malam hari, maka terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan
syafa’at [Ahmad dan Ath-Thabarani] ([4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
أي : يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : (( و هذا القول يحتمل أنه
حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق )وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ(، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل )).
قلت : و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من الأحاديث التي
فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع، و نحوه كثير. و تأويل
مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف
y، بل هو
طريقة المعتزلة و من سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينافي أول شروط الإيمان
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣، فحذار أن تحذو حذوهم، فتضل و
تشقي، و العياذ بالله. اهـ
Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya
diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at kepada orang tersebut sekaligus
memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-Munawi berkata : “Ada kemungkinan bahwa
maksud perkataan di atas adalah secara hakekat sebenarnya, yaitu dengan Allah
rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua amalan tersebut, kemudian Allah
ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk berbicara.
)وَاللَّهُ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(
“dan
Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”
Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas
permisalan dan majaz.”
Menanggapi pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh
Al-Albani berkata : “Kemungkinan pertama itulah yang benar dan harus dipastikan
dalam permasalahan dan yang semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di
dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam bentuk jasad (fisik) dan
yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (pemalingan maksud hadits dari makna
sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash seperti ini bukanlah metode
generasi salaf radhiallahu ‘anhum, bahkan itu adalah metode kelompok
Al-Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti jejak mereka dari kalangan kaum
khalaf. Cara penakwilan seperti itu sangat bertentangan dengan syarat pertama
keimanan, yaitu :
)الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣،
“orang-orang
yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]
Maka waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka
(kaum mu’tazilah) yang menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka.
Wal’iyyadzubillah. –selesai–
10. Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( ثَلاَثَةٌ لاَ
تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ،
وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … ))
“Tiga
pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil, seorang yang
bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang terzhalimi, …”
[At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [5])
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
do’a seorang yang bershaum ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga
datangnya waktu ifthar adalah do`a yang mustajab. Sementara hadits dari
shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
(( لِكُلِّ صَائِمٍ
عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ))
“Setiap
orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).”
[Ibnu ‘Adi] [6])
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim
dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :
(( إِنَّ لِلصَّائِمِ
عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ
))
“Sesungguh
orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”
Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad
mengisyarahkan tentang lemahnya hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan
bahwa hadits ini lemah. [7])
——————————
[1]
Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.
[2]
Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.
[3]
Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.
[4] Ahmad
dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam Shahihut Targhib no. 984
beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula Tamamul Minnah hal. 394-395.
[5]
At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.
[6] Ibnu
‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq Al-Balkhi.
Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah seorang perawi yang
haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani
berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah dan selainnya menyatakan bahwa orang ini
pendusta. Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.
[7] Lihat
Al-Irwa` no. 921.
4. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ,
sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( اَلصَّلَوَاتُ
الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ
مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ )) [رواه مسلم]
“Shalat
lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya merupakan
penghapus dosa-dosa selama masih meninggalkan dosa-dosa besar.”
[HR. Muslim] ([1])
Namun keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai penghapus
dosa sangat bergantung kepada sikap dan kemauan hamba untuk menjauhi Al-Kaba`ir
, yaitu dosa-dosa besar. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Allah
subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
“Jika
kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosamu yang
kecil) dan kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (Al-Jannah).”
[An-Nisa` : 31]
Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di radhiallahu ‘anhu tentang
ayat di atas :
“Tentu
ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang
mu`min. Allah menjanjikan kepada mereka bahwa jika mereka menjauhi dosa-dosa
besar yang terlarang, maka pasti Dia akan mengampuni seluruh dosa dan
kesalahannya, serta akan memasukkan mereka ke tempat yang mulia dan penuh
kebaikan, yaitu Al-Jannah yang meliputi segala keindahan yang belum pernah
dilihat oleh mata, dan belum pernah di dengar oleh telinga, bahkan belum pernah
terbetik dalam sanubari manusia.
Termasuk pula dalam upaya menjauhkan diri
dari Al-Kaba`ir adalah menunaikan berbagai kewajiban, yang apabila ditinggalkan
maka pelakunya tergolong telah melakukan dosa besar, seperti shalat lima waktu,
dan shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan, sebagaimana sabda Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Antara shalat lima waktu, dan shalat Jum’at
ke Jum’at berikutnya, serta antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya berfungsi
sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya selama masih
dijauhi dosa-dosa besar”
Definisi Al-Kaba`ir yang terbaik adalah sebuah dosa yang
diancam dengan hukuman pidana di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau
penafian iman (dari pelakunya), terkenainya laknat dan marah Allah atasnya.”
[2])
Dari keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan
yang bisa kita ambil :
1. Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai
penebus dosa atau penghapus kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya
meninggalkan Al-Kaba`ir (dosa-dosa besar).
2. bahwa kita harus mengetahui definisi dan batasan
Al-Kaba`ir, sehingga dengan itu kita dapat menghindarkan diri kita darinya, dan
tentunya hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan thalabul ‘ilmi (menuntut
ilmu syar’i).
2. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( وَمَنْ صَامَ
رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah
ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi]
([3])
Hadits ini memiliki kemiripan dengan hadits yang
sebelumnya, yaitu dari sisi bahwa barangsiapa yang bershaum pada bulan Ramadhan
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Namun keutamaan tersebut memang
hanya bisa diraih dengan dua syarat :
a. Shaum yang dia lakukan berdasarkan kepada keimanan,
yaitu keimanan bahwa shaum Ramadhan merupakan syari’at yang haq yang datangnya
dari Allah dan telah diwajibkan kepada kaum mu`minin.
b. Shaum yang dia lakukan berdasarkan sikap ihtisab
(mengharapkan) pahala dan ridha Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong
dia untuk melakukannya dengan penuh keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan
duniawi.
Sehingga barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa
dilandasi dua sikap di atas, dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang
dijanjikan.
Terkait dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits
dha’if yang perlu diketahui, antara lain :
a. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
secara marfu’ dengan lafadz :
(( وَمَنْ قَامَ
لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ )). رواه النسائي في الكبرى
“Barangsiapa
yang beribadah pada malam lailatul qadr karena dorongan iman dan mengharap
(pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan
datang. [An-Nasa`i] [4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Hadits ini
dengan tambahan lafazh (( وَ مَا تَأَخَّرَ )) adalah hadits yang Syadz (ganjil).
b. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( من صام رمضان وعرف
حدوده، وتحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه، كفر ما قبله )) . رواه أحمد والبيهقي
“Barangsiapa
yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batas (syar’i) nya, serta
dia berupaya menjaga diri dari segala sesuatu yang semestinya ia menjaga
dirinya dari hal itu, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
[Ahmad dan Al-Baihaqi]
Hadits ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana
ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah. [5]) Karena pada
sanadnya ada seorang perawi yang majhul, yaitu ‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam
Al-Haitsami berkata, bahwa perawi ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim
namun beliau tidak menyebutkan tentangnya, baik jarh (cercaan) atau pun ta’dil
(rekomendasi). Disebutkan dalam kitab Ta’jilul Manfa’ah bahwa Al-Husaini
berkata tentang perawi ini dalam kitab Rijalul Musnad : bahwa dia adalah
seorang perawi yang majhul.
3. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ,
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا جَاءَ
رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ))
“Jika
telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al-Jannah
[Muttafaqun ‘alaihi] ([6])
————————————
[1] Muslim
233
[2] Tafsir
As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.
[3]
Al-Bukhari 1901, Muslim 760.
[4]
An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.
[5] Lihat
Tamamul Minnah hal. 395.
[6]
Al-Bukhari 1898, Muslim 1079.
5. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ,
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا دَخَلَ
شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ
جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
))
“Jika
telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan ditutuplah
pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan.
[Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
Dalam riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :
(( … فُتِّحَتْ
أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ … ))
“… maka
dibukalah pintu-pintu rahmat … “
Dari tiga riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya
tiga lafazh yang berbeda, yaitu :
– dibukakannya pintu Al-Jannah
– dibukakannya pintu rahmat
– dibukakannya pintu langit
sepintas nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak
demikian.
Maksud “dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka
naiknya berbagai perkataan baik kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun
kalimat tauhid Lailaha Illallah, serta diangkatnya berbagai amalan shalih
menuju kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ
الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ فاطر: ١٠
“kepada-Nyalah
naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”
[Fathir : 10]
Sehingga dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan
Ramadhan, karena banyaknya perkataan baik dan amalan shalih padanya.
Sementara “dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan
makna :
1. Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya
yang mu`min, yang rahmat itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah, sehingga
hamba-hamba Allah tidaklah masuk Al-Jannah kecuali dengan sebab rahmat Allah,
bukan karena amalan mereka.
2. Makna rahmat dalam hadits ini adalah Al-Jannah. Karena
dalam beberapa keterangan Al-Jannah terkadang diistilahkan dengan “rahmat”,
sebagaimana dalam hadits :
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : (( أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ
عِبَادِي
))
“Allah
Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau adalah rahmat-Ku yang
denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Ku’.”
[Muttafaqun ‘alaih] [2])
Penjelasan tentang maksud : « وصفدت
الشياطين »
Di antara yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat « وصفدت
الشياطين »
(dan dibelenggulah para syaithan).
Ketahuilah bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis
syaithan. Namun hanya terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan dengan
Al-Maradah ( المَرَدَةُ ), yaitu
para syaithan yang tingkat kejahatan dan kedurhakaanny paling besar. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama, antara lain :
1. Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya,
beliau menyebutkan :
باب ذكر البيان أن النبي r إنما أراد بقوله : « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم، لا جميع الشياطين
Bab : Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam hanyalah memaksudkan dengan perkataannya : « وصفدت
الشياطين »
(dan dibelenggulah para syaithan) adalah jenis jin yang maradah (paling
durhaka), bukan seluruh jenis syaithan.
Kemudian beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu
Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
1776 – «
إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ
الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ الجِنِّ، …
»
“Jika
pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis
maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu
Khuzaimah–
Disebutkan pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits
Abu Hurairah, dengan lafazh :
(( … وَتُغَلُّ فِيهِ
مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، … ))
“… dan
padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ”
[An-Nasa`i] [3])
2. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh
Riyadhish Shalihin berkata :
“Maksud
(dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang paling durhaka) di
antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat lain. Sementara yang
dimaksud dengan Al-Maradah adalah : yaitu para syaithan yang paling besar
permusuhan dan kebencianya terhadap anak Adam.” ([4])
Namun ada sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang
kami sebutkan di atas, antara lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :
“yang
dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit). Tidakkah engkau
perhatikan Rasulullah menyebut (( مردة الشياطين ))، (para
syaithan yang sangat durhaka) karena bulan Ramadhan adalah waktu turunnya
Al-Qur`an ke langit bumi, yang upaya penjagaan (terhadap) Al-Qur’an dilakukan
dengan cara bintang-bintang (yang dilemparkan), sebagaimana firman Allah Ta’ala
:
(وَحِفْظًا مِنْ
كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ) الصافات: ٧
“dan
juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang
sangat durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])
Sehingga dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada
bulan Ramadhan, dalam rangka penjagaan yang lebih serius (terhadap Kalamullah).
[6])
2. Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani
radhiallahu ‘anhu , beliau berkata :
جاء رجل إلى النبي r فقال : يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا إله إلا الله وأنك رسول الله،
وصليت الصلوات الخمس، وأديت الزكاة، وصمت رمضان وقمته، فممن أنا؟ قال : (( من
الصديقين والشهداء )) [رواه البزار وابن خزيمة وابن]
Seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
dan berkata : Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha Illallah dan
bahwa engkau adalah Rasulullah, saya melaksanakan shalat lima waktu, saya
menunaikan zakat, dan saya bershaum di bulan Ramadhan dan saya laksanakan
shalat (pada malam harinya), maka dari golongan manakah aku?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan
Asy-Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])
Dari keterangan di atas, kita tahu bahwa seorang hamba yang
menunaikan shaum Ramadhan dan rajin melakukan Qiyamullail (shalat malam)
padanya, maka dia akan digolongkan dalam golongan para syuhada` dan shiddiqin.
3. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri :
(( إن لله تبارك
وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة – يعني في رمضان – وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة
دعوة مستجابة )) رواه البزار
“Sesungguhnya
Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari adzab An-Nar) pada setiap
siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan sesungguhnya setiap muslim
memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang dan malam”
[Al-Bazzar] [8])
4. Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu
, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( احضروا المنبر ))
فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : (( آمين
))؛ فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : (( آمين ))؛
فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه؟ قال : (( إن
جبريل عليه السلام عرض لي، فقال : بعد من أدرك رمضان فلم يغفر له، قلت آمين، فلما
رقيت الثانية قال : بعد من ذكرت عنده فلم يصل عليك، فقلت آمين، فلما رقيت الثالثة
قال بعد : من أدرك أبويه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة، قلت آمين )) رواه
الحاكم وقال صحيح الإسناد
“Hadirlah
kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera hadir. Ketika menaiki tangga
pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan ketika menaiki tangga kedua beliau
mengucapkan “Amin”; begitu pula ketika menaiki tangga ketiga, beliau
mengucapkan “Amin”. Ketika beliau telah turun dari mimbar, kami bertanya :
“Wahai Rasulullah sungguh kami telah mendengar darimu sesuatu pada hari ini
yang belum pernah kami mendengar sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh
telah datang kepadaku Jibril, kemudian dia berkata : ‘Celakalah seorang yang
memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni.’ Maka aku berkata : Amin.
Kemudian ketika aku menaiki tangga kedua, Jibril berkata : ‘Celakalah seseorang
yang disebutkan namamu di hadapannya namun dia tidak bershalawat untukmu.’ Maka
aku pun mengucapkan Amin. Dan ketika aku menaiki tangga ketiga, Jibril berkata
: ‘Celakalah seorang yang menemui kedua orang tuanya pada masa tua, atau salah
satu di antara keduanya, namun (keberadaan) keduanya tidak mampu memasukkan dia
ke dalam Al-Jannah.’ Maka aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim]
[9]
Dalam hadits di atas, ada sebuah penekanan dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang
penuh ampunan. Sehingga hendaknya setiap mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh
untuk mendapatkannya. Karena apabila dia gagal mendapatkan ampunan di bulan
Ramadhan maka dia akan mendapatkan do`a celaka dari malaikat Jibril ‘alaihis
salam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah melindungi kita
semua.
————————–
[1]
Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[2]
Al-Bukhari 4850, Muslim 2846 dari shahabat Abu Hurairah.
[3] HR.
An-Nasa`i 2106. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
An-Nasa`i no. 2106.
[4] Syarh
Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, hadits no. 1220.
[5] Konteks
ayat tersebut adalah sebagai berikut :
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ
الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ
(7) لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ
جَانِبٍ الصافات: ٦ – ٨
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan
bintang-bintang, dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari
setiap syaithan yang sangat durhaka. Agar syaithan-syaithan itu tidak dapat
mencuri-curi dengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari (dengan
bintang-bintang tersebut) dari segala penjuru.” [Ash-Shaffat : 6-8]
[6] Lihat
Shahihut Targhib wat Tarhib di bawah hadits no. 999.
[7]
Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 361, 749, 1003, 2515,
[8] HR.
Al-Bazzar. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat
Tarhib no. 1002
[9] HR.
Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahihut Targhib wat Tarhib hadits
no. 995 : Shahih li gharihi. Hadits tersebut diriwayatkan pula dari shahabat
Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi. Riwayat kedua
ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih bab : At-Tarhib
min Ifthar Ramadhan (II/378)